Romansa Semalam

romantis berjalan berdua di jalanan kota di iringi gerimis




















Aku kaku, malam ini aku akan menggandeng seorang perempuan yang siluet nya seperti rembulan. Aku heran, mengapa malam ini terjadi begitu saja, mungkin…inilah satu malam dalam ribuan hariku yang bisa kukenang. Tak kubayangkan aku akan melukis malamku dengan seorang makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna….aih, kenapa mulai jadi melankolis seperti ini.

Menjemput seorang nona, mengetuk pintu rumahnya, tersenyum manis dan berkata-kata padanya…ahhh bodoh sekali dirimu. Kenapa berpikir hal remeh seperti ini. Kau seperti menghapal salah satu rumus dalam kamus rasa cinta…aih. Hidup ini berjalan apa adanya. Dan malam ini…

Pemuda Penganggur: Bonsoir Mademoiselle
Seorang Nona : Bonsoir
Pemuda Penganggur: Tu e belle mademoiselle
Seorang Nona : Merci beaucoup

Keduanya tersenyum, tetap berdiri berhadapan, dengan muka masing-masing memerah. Sang pemuda kehabisan kata-kata, bibirnya kelu, bertatap muka dengan seorang nona yang amat manis.

Pemuda penganggur: Anda anggun sekali nona. Beruntung saya memakai tuxedo malam ini, semakin pantas mendampingi nona. E..e.. jujur saja, saya tidak pandai memberi penghormatan pada seorang lady ala bangsawan. Membungkukkan badan dan mencium jari manis nona.

Seorang nona : Tidak apa-apa. Tidak perlu seperti itu.
Pemuda penganggur : E..e..ayo lingkarkan tanganmu ke tangan kananku. Ha..ha.. Aku seperti Pangeran Charles yang mengapit Lady /Dayana/ saja. Sebentar nona, bayangkan kita berada di balkon istana Buckingham, kemudian kita melambai sambil tersenyum ke bawah, melihat kerumunan rakyat jelata yang menyemut. Ha…ha…ha.

Seorang nona : Kau pandai bercanda (nona tertawa sambil menutup mulutnya).
Pemuda penganggur : Mari berangkat…Ah nona, kalau aku punya limousine, Richard Gerre ini tak akan membiarkan Sang Pretty Women-Julia Robert jalan kaki..maaf.

Seorang nona : Tidak apa-apa, kita jalan saja.
Keduanya berjalan berdampingan di bawah mendungnya langit Paris. Jalanan lengang. Keduanya saling melempar senyum, tampak ingin membuka percakapan, tetapi saling tertahan.

Pemuda penganggur : Nona, kalau kita ke Louvre, kita tidak usah sewa pemandu, cukup bawa buku The Davinci Code saja. ha..ha.. Daccord mds!

Seorang Nona : Anda ingin membicarakan Louvre?

Pemuda penganggur : Oh, tidak. Saya asal bicara saja. Saya pengangguran, mana mungkin isi Louvre mampir di otak saya. Terlalu angkuh, jika Louvre dan barang “keramat” yang ada didalamnya, dibicarakan seorang penganggur seperti saya. Bagaimana jika Nona Anna bercerita?

Seorang nona : Begitu.
Tuan, aku sering bertemu dengan laki-laki. Banyak dari mereka yang bilang, “ah, andai aku mendapatkan Anna yang cantik seperti merpati pagi”, atau mereka bilang “Anna, aku begitu mencintaimu” atau mereka bilang, “Anna, kau wanita tercantik yang pernah kulihat”…aku bosan dengan semua itu. Mereka menyukaiku hanya karena wajahku, itu saja, tidak lebih. Dan sebenarnya aku tidak sebaik yang mereka pikirkan.

Pemuda penganggur: Nona, menurutku, ketika kita melihat seseorang, apa yang tampak pada pandangan kita, segalanya baik dan sangat baik. Padahal ada banyak kekurangan yang sangat mengecewakan. Sayangnya kelemahan ini terbentur pada pandangan mata, logika, pikiran yang menipu dan tidak seberapa, sebab itulah kita harus bersiap tuk kecewa, merasa dibodohi, dipermainkan, ditelanjangi dan bersiap terluka.

Seorang Nona : Mungkin saja. Lalu bagaimana?. Aku bersikap apa adanya Anna. Aku tidak membuat-buat tingkahku. Aku tidak berkamuflase setiap bertemu orang.

Pemuda Penganggur: Ya. Tetap saja seperti itu. Aku juga melihat apa adanya Anna. Anna memang cantik. Wajar jika tiap pemuda tertarik, dan hal pertama yang tertinggal di ingatan mereka adalah wajah, karena tentu saja mereka melihat wajahmu. Ah, kepala siapa yang mau berpaling jika mata ini terlanjur menatap wajah sepertimu?. Jika aku mencintai perempuan, aku tidak cinta wajahnya. Bukankah wajah akan dimakan usia.

Seorang nona : Lalu, kau…
Pemuda Penganggur : Aku ingin memenangkan hatinya.

Voila!, Café Du Paint!

Mereka masuk ke sebuah kedai kue dan minuman. hampir bebarengan, gerimis turun. Mereka duduk di meja dekat jendela, hingga bisa melihat orang berlalu lalang di malam yang nampak suram. Sayup-sayup terdengar alunan jazz. Sexophone yang ditiup seorang negro tua nampak mengalun sayu. Seorang pelayan dengan ramah menyapa dan mencatat pesanan.

Seorang Nona : Nampaknya Paris hari ini murung ya? Malamnya pekat. Seharian ini hujan turun berkali-kali.

Pemuda pengaggur : Ah nona, sekarang bukan Paris saja yang murung, tetapi wajahmu juga. Dinikmati saja. Ini bukan suasana berkabung bukan? Ini menyenangkan. Apakah kita selalu bahagia atau ceria hanya ketika hari cerah, jauh dari mendung dan hujan? Kadang, manusia butuh suasana seperti ini. Coba bayangkan nona, jika seharian kita hanya bertemu pagi dan siang, tanpa adanya malam?

Seorang Nona : (tertawa) Pasti para penyair, sastrawan, pelukis, kelimpungan bukan?

Pemuda Penganggur : Ha..ha..ha..nona lucu. Selamat makan nona Mellerna. Ah, aku heran kenapa kau pesan koktail buah. Aku pikir secangkir kopi atau coklat panas. Cocok bukan untuk menemani menghabiskan malam yang katamu murung ini.

Seorang Nona : Aku suka koktail buah, tidak masalah meski diminum malam hari. Juga…aku belajar dari perkataanmu tadi.

Pemuda penganggur : Ha..ha..ha..Anna memang pintar. Katanya, filsafat itu seperti segelas koktail buah. Sebenarnya aku tidak paham Ann. Apakah karena buahnya yang bermacam-macam dengan aneka bentuk, rasa dan warna, hingga harmoni itu begitu terasa di lidah ketika memakannya? Manis, asam, dingin…dan membuat mulut kita berkomentar “wah enak”, atau” ouw, luar biasa”? ha..ha…jadi teringat Immanuel Kant, pengalaman dulu baru pengetahuan, atau pengetahuan dulu baru pengalaman?

Seorang Nona : Saya tidak tahu.
Pemuda Penganggur : Ah saya jadi penasaran, mana yang pertama, pengalaman atau pengetahuan?

Seorang Nona : Tuan, omongan anda begitu berat. Sepertinya sulit sekali dimengerti…saudara saya juga belajar hal seperti itu. Jika idealismenya meluap-luap, dia merembet bicara soal eksistensi…dia lalu berkhutbah panjang lebar tentang eksistensialisme manusia…

Pemuda penganngur : Ah, aku juga tidak sedang butuh ceramah eksistensialisme Sartre. Tanpa konsep itu, kita sudah eksis, kita ada. Meski kita tidak bergerak pun, kita tetap ada, karena kita hidup. Ketiadaan, menurutku ketika kita tidak hidup.

Seorang Nona : Bagaimana jika ketiadaan adalah ketika kita tidak mampu berbuat apa-apa dalam hidup, pun kita tidak berguna untuk diri kita sendiri. Itukah nothingness?

Pemuda Penganggur : Ann, jika kau tidur, tentu kau tidak mampu sepenuhnya menguasai dirimu sendiri. Bahkan bergerakpun, kau tidak sadar. Apakah itu ketiadaan? Jangan bilang ketiadaan untuk sementara. Kamu tetap ada…

Seorang Nona : Ya

Pemuda penganggur : Malam yang indah bukan. Aku teringat kata-kata Frau Kant, seorang ibu dengan bakat kecerdasan alamiah, yang sangat dipuja anak laki-laki kecilnya-Immanuel Kant. “ langit yang dipenuhi bintang di atas sana, dan hukum moral yang ada pada diri manusia, akan selalu baru dan semakin baik, jika kita dapat terus merenungkannya”.

Seorang Nona : Mungkin tidak hanya merenungkannya saja. Tetapi lebih ke aplikasi atau implementasi di kehidupan nyata. Jika hanya berpikir terus, tanpa bertindak, ya sama saja bukan. Kita tidak menjadi selalu baru dan semakin baik. Kita hanya bergulat dengan alam pikir kita, padahal kita terus hidup, dan hidup selalu bergerak

Pemuda penganggur : Ya..ya.. mungkin maksudnya setiap kita bertindak, maka kebijaksanaan yang ada pada diri harus selalu menyertai. Kita sadar sepenuhnya apa yang kita lakukan. Kita bertindak sesuai akal sehat dan hati nurani yang selalu bersuara, meski tekadang kita mengabaikannya. Mencoba mencari hikmah di setiap peristiwa hidup yang kita alami, karena kita belajar dari sana. Tentu kita selalu baru dan semakin baik bukan?

Seorang Nona : Dan malam ini, kau semakin baik. Berbeda ketika pertama kali aku bertemu dengan mu, seorang pemuda yang kumal, seenaknya, dan tidak sopan.

Pemuda Penganggur : Ha..ha..Nona, tentu saja, Karena waktu itu hatimu angkuh sekali.

Mereka berdua tersenyum. Obrolan berhenti, suasana hening sejenak. Gerimis masih saja turun, tipis-tipis, tetapi cukup untuk membuat rumah-rumah dan jalanan menjadi basah. Kafe mulai sepi. Tampak beberapa pasangan keluar dengan malas. Musik jazz masih saja terdengar, lambat. Beberapa pelayan sibuk membersihkan meja dan mengaturnya kembali. Sang pemuda memandangi nona di depannya…

Pemuda penganggur : Nona, kamu sangat cantik hari ini. Aku tidak membual. Ini jujur. Ah, aku tidak membawamu ke bawah menara Eiffel, atau melihat tenangnya sungai Seine di malam hari. Ya, seperti umumnya muda-mudi yang terkena panah cupid. Ah Ann, aku muak dengan semua itu.

Seorang Nona : Kau terkena panah cupid? Kau jatuh cinta? (nona tersenyum dan wajahnya tersipu)

Pemuda penganggur : Aku melihat ekspresi cinta dimana-mana nona…juga di senyummu. Percayalah padaku. Meski kau berbohong sekalipun, aku tahu, pemuda penganggur ini telah memiliki tempat dihatimu.

Seorang Nona : Menurutmu, cinta itu apa? bagaimana? seperti apa?

Pemuda penganggur : Aku tidak punya definisi cinta itu apa. Aku hanya tahu cinta itu anugerah Tuhan yang luar biasa.Karena sebuah anugerah, maka aku harus menjaganya, harus menghargainya, dan jangan menghinakannya.

Seorang nona : Cinta butuh pengorbanan. Tidak selamanya indah. Mata harus siap menangis, dada harus siap sesak, hati harus siap sakit, rasa harus siap terluka, begitu?.

Pemuda penganggur : Nona ingat Parijs Van Java…ingat Getruida Van Veen dan Rob Verschoor. Mereka membuktikan cinta mereka, saat darah, keringat, dan airmata, tiada henti bergelut dalam kehidupannya. Getruida Van Veen yang pandai bermain piano, senang memainkan Sint Louis Blous, yang sangat cantik seperti Marry Pickford, yang menamakan anaknya Indonesia, masih mencintai jantunghatinya Rob Verschoor meskipun raganya tidak karuan. Getruida tetap setia dengan Rob Verschoor, seorang pelukis ‘jalanan’ yang berkata: “Getruida, kau membuka jalanku ke langit.”

Seorang Nona : Jika Tuan Verschoor berkata begitu, apa yang akan kau katankan padaku? Aku memintamu.

Pemuda penganggur : Ha..ha..Anna Mellerna. Apa yang akan kukatakan padamu? Aku bukan penyair Ann… Ouw, kau ingat petit garcon kan? Setidaknya aku bisa bernyanyi sedikit untukmu.

Dans son manteau
Rouge est blanc
Sur en trainmo
Ou cheval blanc
Il decendra parle semaine
Petit garcon il est leur d’aler cest couche
Tre yeux cest voir
Ecoutez le toir
Tu te calm repose attend tu le closet tintinabuller…

Seorang Nona : Terimakasih
Pemuda Penganggur : Ya, suaraku tidak terlalu bagus memang. Lihat…gerimis mereda. Malam juga mulai larut. Ayo kita pulang. Aku tidak mau membuat Tuan dan nyonya Mellerna khawatir, karena peri kecilnya belum pulang.

Seorang Nona : Baiklah

Mereka keluar dari kafe. Ekspresi wajah keduanya terlihat bahagia.

Pemuda penganggur : Nona, sebentar lagi kita berpisah. Maaf, aku tidak memberikanmu hadiah. Aku hanya punya doa tulus untuk nona Anna Mellerna yang sudah bersedia menemani pemuda penganggur sepertiku jalan-jalan malam ini.

Seorang Nona : Kalau aku memintamu memberikan hadiah, apa yang akan kau berikan?
Pemuda Penganggur : Ah nona, kau membuatku merasa kesulitan.

Seorang Nona : Iya, maaf…aku hanya bercanda. Kau menanggapi terlalu serius. Tapi tadi ekspresi wajahmu bagus, nampak susah bukan main…

Pemuda penganggur : Lampu taman kota tidak pernah redup ya. Cahaya yang selalu kuning keemasan. Aha, Ann bukankah kau suka lukisan. Vincent Van Gogh. Lukisan bunga matahari-sun flower- yang ekspresif.

Seorang Nona : Iya, cantik sekali. Tuan Van Gogh yang malang…tapi sekarang lukisannya menjadi langka, terkenal, dan amat mahal.

Mereka berhenti di depan sebuah rumah besar. Keduanya terdiam. Mereka terlihat kikuk untuk saling berpisah. Sepertinya ada rasa berat menyergap keduanya.

Pemuda penganggur : Akhirnya, sampai di depan rumahmu nona. Pastikan kau tak akan lupa pada pemuda penganggur ini. Terima kasih untuk malam ini. Bonnui Mademoiselle…

Je tu aime

Seorang Nona : …(tersenyum) Moi aussi.
Malamku yang semakin larut, jangan tinggalkan pemuda ini sebelum sampai ke peraduanku. Mungkin aku akan ditemani lengkung senyum manis bibirnya yang indah hingga esok. Entah…setelah ini apa yang terjadi.. Aih…sekali lagi aku menjadi seorang yang romantis, ya mungkin sesekali begitu…

SELESAI


Nambah dikit: cerita ini, semrawut dan picisan (wakakaka…). Pokoknya yang ada di otak, dituliiis aja. (nekat nulis…) + belum direvisi. Still to be continue gitu…

v Petit Garcon, lagu Perancis pertama yang aku hapal dan aku bisa nyanyikan. Mengingatkanku pada ibu Mundi Lestari (bu, kangen…), juga kelas III bahasa yang “bahagia sepanjang hari“.

v Paris Van Java…buku tebal dan detail karya Remy Sylado. Perjalanan cinta Getruida Van Venn dengan Robb Verschoor yang berliku, sampai menginjakkan kaki ke Indonesia, ke Bandung-Parisnya Jawa. Hingga mereka hidup bahagia dengan si kecil Indonesia, semata wayang mereka berdua.

Cerpen Oleh Herlian Ardivianti