Lintang Laras

Lintang Laras


















Tokoh 1: Lintang
Tokoh 2: Laras

Scene 1
Panggung kosong. Lengang.
2 orang perempuan duduk (agak berjauhan). Berdialog

musik

LINTANG
Aku ingat, Sayuri-geisha bermata abu-abu luar biasa- membeli es serut yang bertangkai bambu siang itu. Sebenarnya dia tidak bermaksud membelinya, tetapi dengan memakan es itu, kenangan akan pria berwajah setenang Bodhisatwa yang dikaguminya, akan tetap hidup…

LARAS
Lalu…

LINTANG
Aku tidak ingat malam itu tanggal berapa. Aku begitu menggebu ingin mengirim pesan untukmu. Aku tidak tahu, apakah kamu mendengarkan waktu itu. Yang jelas, aku ingin sebuah ingatan tentangmu akan tetap hidup…

LARAS
Lalu…

LINTANG
Jika kau tidak keberatan, bolehkah aku mengajakmu melihat gerimis tipis-tipis yang turun di rawa-rawa sana. Aku ingin kau mendengar keramaian hujan dan merasa kesunyian yang tak biasa. Aku begitu suka berdiri berlama-lama menikmati itu semua. Mengobati hati yang sepi dan mulut yang tak lagi bisa bernyanyi.

LARAS
Hati yang sepi dan mulut yang tak lagi bisa bernyanyi? itu maumu bukan! Itu jalan yang kau pilih. Aku juga tidak menghalangimu waktu itu. meski sebenarnya aku tidak rela.

LINTANG
Maafkanlah aku…maafkan aku. Aku hanya ingin kau seperti dulu.

LARAS
Aku masih Laras yang dulu. Tapi, entah…seperti ada jarak antara kau dan aku.

LINTANG
Aku atau kau yang membuat jarak itu ada…dan terasa menyiksa

LARAS
Kita berdua!

BLACK OUT

Scene 2
2 orang perempuan berdiri. Saling membelakangi.
Keduanya ber-monolog, seolah mereka sedang berdialog.

LINTANG
Aku mengajakmu karena tadi pagi kau kirimkan teh panas untukku. Katamu kau ramu dengan perhatian, cinta dan doa. Tidak bisa tidak untuk ku bilang, itu berarti.

LARAS
Sama berartinya ketika siang itu kita duduk berdua di bangku panjang, pada sebuah lorong yang lengang, sambil makan jajan yang seplastik seribu…

LINTANG
Aku merasakannya…dan aku tahu kau merasakannya. Sakit bukan Ras?… Kapan lagi kita tertawa bersama? kapan lagi kita jalan berdua? kapan lagi kita saling bercerita? kapan lagi kita bertengkar seperti biasa?!…saat ini kita tidak saling bertengkar, tapi keadaan ini memuakkan! Kita hanya berdiam.

LARAS
Jujur Lin, aku kecewa. Aku tidak menduga, akhirnya kau memilih…memilih sesuatu, yang setelahnya kita tak akan pernah lagi berjalan pada titian yang sama. Jalan kita beda! Ah….seharusnya ini tak jadi soal. Tapi, aku…aku tidak tahu! Yang kutahu aku masih tetap mencintaimu Lin…

LINTANG
Aku tahu kau kecewa. Ada yang berubah dalam senyummu. Ada yang berubah dalam sikapmu. Sampai kapan Ras? Marahlah padaku! Teriaklah padaku! Tetapi….kembalilah seperti Laras, Laras sahabatku yang dulu. Yang selalu ada mata air ketulusan dalam pandangnya, ada kebijaksanaan dalam laut jiwanya, ada kedewasaan dalam telapak kakinya…

BLACK OUT

Scene 3
2 orang perempuan. Masing masing duduk di kursi. Berdialog

musik


LINTANG
Jika kau tidak keberatan, Bolehkah aku mengajakmu mengejar matahari pada siang, dan bulan pada malam. Dalam naungan matahari, kita akan bercerita tentang hidup. Dalam buaian bulan, kita akan bertutur tentang cinta.

LARAS
Silakan

LINTANG
Ras! Hatiku sepi dan mulutku tak lagi bisa bernyanyi…. Maka, duduklah disampingku sejenak

LARAS
Sama seperti dulu, ketika kepalamu bersandar pada bahu kiriku

LINTANG
Ya, seperti itu. Seperti dulu.

LARAS
Kau begitu dekat…seperti beningnya air matamu ketika menahan sedan yang tak tertahankan malam itu.

LINTANG
Ya. Dan kau mendengarkanku dengan setia.

LARAS
Tidak bisa tidak untuk ku bilang, itu berarti. Sama berartinya ketika siang itu, dengan sabar kau mengajariku nembang. Asmarandhana yang menenangkan…

LINTANG
Gambuh yang menyenangkan…

Laras beranjak dari kursi dan meninggalkan panggung

LINTANG
Ras…

BLACK OUT

Scene 3
1 perempuan di panggung. Ada suara laki-laki. Berdialog

LINTANG
Kenapa masih saja bertanya. Tidak penting kau tanyakan hal itu.

LAKI-LAKI
Lebih baik aku mendengarnya dari dirimu, daripada dari mulut orang lain. Selama ini kita bersama-sama bukan? Aku peduli, karena aku tahu kau dari dulu hingga sekarang.

LINTANG
Kau berkata bersedia berbagi, tapi kau tidak bersetia berbagi. Kupikir kau yang akan mengerti, tapi sama saja!

LAKI-LAKI
Jika kau ingin dimengerti, maka mengertilah dengan pilihanmu. Apakah selama ini kau tidak mengerti dengan pilihanmu? awalnya kau juga memilih jalan ini bukan. Jalan, yang aku yakin kau bahagia akan kehadirannya.

LINTANG
Aku lalui jalan itu dengan suka cita. Aku belajar dari jalan ini, kadang lurus, kadang berbelok, kadang menurun tajam, kadang naik, dan kadang buntu. Tapi suatu ketika aku berdiri di persimpangan jalan. Lama aku berdiri dan tidak segera melalui jalan ku, ya, jalan mu juga. Begitu kuat hasrat hati tuk melangkahkan kakiku ke jalan yang tak biasanya, dan ternyata aku juga senang akan kehadirannya. Dan semenjak itu ada sesuatu yang hilang dari kalian. Kalian memandangku dengan tatapan aneh. Seolah aku bukan bagian dari kalian. Kalian mengambil jarak…benar bukan?

LAKI-LAKI
Tidak. Kita tetap bersaudara Lin. Jika kamu tidak membutuhkan pun, kami akan ada untukmu.

LINTANG
Tapi kenapa kalian memperlakukanku seperti itu? sampai kapan? Ini tetap pilihanku. Dan aku tetap menghormati kalian. Aku ’dewasa’ bersama kalian.

LAKI-LAKI
Baik, jika itu memang maumu. Aku selalu ada disini, panggilah jika kau mau. Berbagilah jika kau mau, bukankah maumu aku harus bersetia berbagi.
suara laki-laki menghilang



LINTANG

Kau tahu, ada sesak di dada…

Kau ingat, kau pernah mengetuk pintu rumah gadis kecil yang hampir rubuh. Kau membawa sekeranjang roti untuknya. Gadis itu takut mulanya, hingga ia segan membuka pintu. 10 menit berlalu, pintu belum terbuka. Gadis itu hanya minta waktu untuk menetapkan hatinya, dan ia berharap kau bersabar barang sebentar. Dengan hati riang, gadis itu membuka pintu, tapi kau sudah pergi…



BLACK OUT

Scene 4

2 perempuan. 1 duduk 1 berdiri
musik

LINTANG
Kau ingat, suatu sore ketika kita membaui angin yang bertiup kencang, ketika melepas pandang ke samudera yang luas, ketika melihat teman-teman berteriak keras-keras dengan riangnya?

LARAS
Ya. Sudah berapa tahun mereka tidak melihat laut, hingga begitu gembira pada wajah mereka. Gembira mengikuti ombak yang bergulung gulung. Gembira menjejakkan kaki di hangatnya pasir. Gembira karena riak riak tipis membasahi kaki mereka.

LINTANG
Berdua kita melantunkan doa… Kau penghapal yang hebat Ras.

LARAS
Doa adalah uluran benang-benang cinta dari seorang hamba kepada Rabbnya. Doa adalah nyanyian rindu dan harap dari seorang yang lemah dan hina kepada Dzat yang Maha Perkasa. Doa adalah kristal-kristal ajaib yang membuat manusia jadi indah dalam hidupnya

LINTANG
Ya, doa adalah momentum keharuan yang mewarnai ruang dan waktu, antara makhluk dengan Sang Pencipta. Doa, membuat jarak semakin menyempit antara hamba dengan Tuhannya. Manusia yang tak pernah lalai dengan doa-doanya, akan selalu mengingat Tuhannya.

LARAS
Aku berdoa, agar kau baik-baik saja. Agar aku tetap melihat semangat menyala di matamu. Agar tetap melihat harapan yang berpendar di hatimu. Ya…dimanapun kau berada. Dengan atau tidak dengan aku. Bersama atau tidak bersama aku.

LINTANG
Persaksian kita sama di hadapan Tuhan, Ras. Itu yang selamanya mengikat kita. Jika aku ditanya siapa saudara yang kau kasihi dalam hidupmu? Akan aku jawab. Laras adalah saudaraku.

LARAS
Kau juga saudaraku yang terkasih Lin…

BLACK OUT
SELESAI



Terimakasih untuk:
Akhawat Sastra (SKI & Teater Embun),
siap- siap menunggu ksatria yang membawa sebagian tulang rusukmu.
El dan Ukhti Mashi, untuk inspirasinya. Jalan ini memang tidak mudah.
De Tutut dan De Uus, suratku disimpan ya.

Naskah teater oleh : Herlian Ardivianti